GENDER SEBAGAI KONTRUKSI SOSIAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Gender Sosial Inklusi”
Disusun Oleh :
1.
Anisa
Siti Aisah (210613063)
2.
Ulfatu
Rohmah (210613066)
Kelas:
PG.B
Dosen Pengampu:
Irma Rumtianing Uswatul hanifah, MSI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak sepuluh
tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi
dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di dunia ketiga. Demikian
juga di Indonesia, hampir di semua uraian tentang program pengembangan
masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah
diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender
itu? Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki bersifat
seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi
seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina,
dan mempunyai payudara. Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis
kelamin biologis merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi
sosial.
Isu
tentang gender ini sudah mulai menjadi bahasan pokok serta wacana perdebatan di
dalam setiap kajian dan praksis sosial, pembangunan dan perubahan sosial.
Proses pembangunan menjadi titik awal perbincangan mengenai isu perempuan dan
gender. Intinya adalah suatu gugatan dan protes terhadap ketidakadilan,
ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan,
ketidaksetaraan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua ranah
kehidupan, baik ranah keluarga/rumah tangga, komunitas/masyarakat, ranah
negara, maupun komunitas internasional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud gender?
2.
Apa perbedaan
dari jenis kelamin dan gender?
3.
Bagaimana
proses kontruksi gender di masyarakat?
4.
Bagaimana
bentuk-bentuk ketidakadilan gender?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian gender
2.
Untuk
mengetahui perbedaan dari jenis kelamin dan gender
3.
Untuk
mengetahui proses kontruksi gender di masyarakat
4.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara perempuan dan laki-laki
yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut
norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.[1]
Kata gender dalam bahasa
Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender.
Adapun Echols dan Shadily misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis
kelamin. Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara social maupun kultural, dengan begitu tampak jelas bahwa
perbedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga
mencangkup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan
fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena kontruksi sosial dan bukan
sekedar jenis kelamin.[2]
Gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan
masyarakat lain karena norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat
berbeda-beda. Misal:
·
Pekerjaan rumah
tangga dihampir semua masyarakat manapun dilakukan oleh perempuan, sedangkan di
masyarakat perkotaan, mulai dianggap lumrah perempuan dan laki-laki membagi
tugas rumah tangga karena perempuan juga bekerja mencari nafkah keluarga.
·
Menjadi tukang
batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi di Bali perempuan
biasa menjadi tukang batu.
·
Dikebanyakan
masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki-laki, sedangkan di sejumlah
masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu
adalah tugas utama laki-laki.
Gender yang mengacu pada hubungan peran perempuan
dan laki-laki tidak abadi. Suatu nilai yang mempengaruhi hubungan tersebut bisa
berlaku di suatu masyarakat dan tidak pada masyarakat yang lainnya. Hal yang
sama bisa terjadi pada suatu masa dan belum tentu terjadi kini.[3]Dengan sendirinya gender
dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai konstruksi masyarakat yang
bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.[4]
B.
Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender
Gender
berbeda dengan jenis kelamin (seks). bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis
dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. Seks adalah pembagian jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin
tertentu. Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki
dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Misalnya, laki-laki
memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya yang
berbeda dari perempuan. Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti
rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan,
menyusui (fungsi reproduksi). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara
seks, biologis dan anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen
(tetap), tidak dapat dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).
Sedangkan
gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara
laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut,
perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara sosial budaya kepada
laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional,
keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
perkasa, dan sebagainya. Ternyata, sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan
Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat pula dipertukarkan. Artinya,
laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya perempuan pun ada juga
yang kuat, rasional, dan sebagainya.[5]
Sifat-sifat
biologis melahirkan perbedaan gender (gender differences) antara manusia
jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya terjadi melalui proses yang sangat
panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan
oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikontruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi
gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis
yang tidak dapat diubah kembali, sehingga, perbedaan-perbedaan gender dianggap
sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.[6]
Perbedaan
Antara Jenis Kelamin dan Gender Beserta Contohnya[7]
Jenis Kelamin
(seks)
|
Contoh
|
(Gender)
|
Contoh
|
1.Tidak dapat
berubah
Tidak dapat dipertukarkan
3.Berlaku
sepanjang masa
4. Berlaku di
mana saja
5. Merupakan
kodrat Tuhan
6. Ciptaan
Tuhan
|
Alat kelamin
laki-laki dan perempuan
Jakun pada
laki-laki dan payudara pada perempuan
Status
sebagai laki-laki atau perempuan
Di rumah, di
kantor, dan dimanapun berada, seorang laki-laki atau perempuan tetap
laki-laki dan perempuan.
Laki-laki
memiliki cirri-ciri utama yang berbeda dengan cirri-ciri utama perempuan. Misalnya:
jakun
Perempuan
bisa haid, hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak bisa.
|
1.Dapat
berubah
2. dapat
dipertukarkan
3.Tergantung
kebudayaan dan kebiasaan
4.Tergantung
kebudayaan setempat
5. Bukan
merupakan kodrat Tuhan
6. Buatan manusia
|
Peran dalam
kegiatan sehari-hari, seperti lebih banyak perempuan jadi juru masak jika di
rumah, tetapi jika di restoran lebih banyak laki-laki jadi juru masak.
Di Jawa
misalnya, pada zaman penjajahan Belanda kaum perempuan tidak memperoleh hak
pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, perempuan memiliki kebebasan untuk
mengikuti pendidikan. Di maluku juga
Pembatasan
kesempatan di bidang pekerjaan terhadap perempuan dikarenakan budaya
setempat, antara lain: diutamakan untuk menjadi perawat, guru TK, pengasuh
anak.
Pengaturan
jumlah anak dalam suatu keluarga.
Laki-laki dan
perempuan berhak menjadi calon ketua RT, RW, kepala desa, bahkan presiden.
|
C.
Proses
Kontruksi Sosial di Masyarakat
Konstruksi merupakan
pembentukan dari sistem konseptual kebudayaan dan linguistik. Konstruksi juga
bertujuan membuat dunia bermakna kepada yang lain. Makna tercipta dari sistem
alih kode, aturan atau kesepakatan maupun tanda secara historis. Konstruksi peran
gender adalah bagaimana peran gender dibentuk dari kebudayaan dan
disosialisasikan.
Gender juga merupakan alat analisis yang baik
untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang,
melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi social budaya bahkan melalui
kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara
sosial budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara laki-laki
dan perempuan sebagai konstruksi sosial budaya menjadi seolah-olah ketentuan
dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi.
Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita
adalah hasil konstruksi sosial dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi
keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan social
tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan biologis
itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.[8]
Perbedaan peran gender
yang merupakan bentukan masyarakat tersebut disosialisasikan terus menerus
melalui pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam: keluarga
(orang tua), sekolah (guru), negara (pembuat kebijakan, penguasa), dan di
masyarakat (tokoh masyarakat, pemuka agama, media masa dll.). Misalnya saja
sejak kecil anak telah dibiasakan dengan mainan yang berbeda, untuk laki-laki
mobil-mobilan, senjata, robot dan sebagainya, sedangkan perempuan diberikan
boneka, peralatan tumah tangga dan peralatan masak. Pemberian mainan tersebut
secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang perbedaan peran
masing-masing, bahwa laki-laki menjadi gagah, pemberani dan kelak menjadi
penanggung jawab keluarga. Sedangkan kepada perempuan diharapkan bisa mempunyai
sifat keibuan yang pintar mengurus anak, masak dan mengurus rumah. Pendidikan
dan pembiasaan demikian telah berlangsung lama dan turun-temurun tanpa ada yang
mempertanyakan, sehingga terjadi proses internalisasi yang lancar tanpa
hambatan. Tidak mengherankan jika kemudian perbedaan yang merupakan hasil
bentukan masyarakat tersebut dipahami
sebagai kodrat. Oleh karena itu pula masyarakat sangat memegang teguh
‘aturan-aturan’ yang membedakan peran perempuan dan laki-laki. Namun di sisi
lain banyak pula yang ‘melanggar’ dan pada akhirnya masyarakat bisa menerima
pula.[9]
Hubungan atau relasi
antar jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) atau relasi gender dipengaruhi
oleh pandangan yang ada antara keduanya. Posisi perempuan, maupun posisi
laki-laki sedemikian rupa, di bangun dalam beragam level, yakni:
1.
Di tingkat
keluarga
Insitusi
keluarga merupakan ruang awal peran dan idiologi gender diperkenalkan. Bahkan
seringkali pandangan gender ada sebelum seseorang dilahirkan. Contohnya,
keluarga yang mendambakan anak laki-laki menyiapkan segala perlengkapan bayi
yang belum lahir dengan warna biru sebagai warna tegas, dan merah bila anaknya
perempuan. Pemberian alat permainan yang seterotip pada anak-anak juga
merupakan cerminan pandangan gender. Anak laki-laki pastinya tidak diharapkan
untuk bermain boneka atau memasak. Pola pengasuhan ini bisa berlanjut hingga
menjadi pandangan yang dianggap wajar. Pada komunitas tertentu anak laki-laki
tidak dituntut untuk bisa memasak atau melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan.
Sementara anak perempuan diajarkan untuk membantu ibu di rumah, dll. Pola
pengasuhan dan pendidikan ini akan memperngaruhi pandangan sang anak kelak
dalam memilih dan menyesuaikan profesi dan keahliannya. Ini karena mereka
terdidik dan diperlakukan demikian. Dan demikian seterusnya. Pola pengasuhan
pembedaan ini akan menyumbang pada posisi, peran dan tanggung jawab juga
kesempatan yang berbeda antara keduanya. Keluarga berperan melanggengkan bentuk
dan relasi gender, baik yang adil maupun yang timpang.[10]
2.
Di tingkat
sekolah/pendidikan formal
Isi
ajaran pendidikan di sekolah menjadi salah satu dasar pola perilaku dan
pandangan mengenai posisi, peran, tanggung dan fungsi yang berbeda antara
perempuan dan laki-laki. Ini bisa dilihat dari kurikulum pengajaran, pola
pengajaran dan cara mendidik di sekolah. Ini tidak hanya dialami oleh peserta
didik, namun juga pendidik atau guru. Ada banyak bukti pembedaan perlakuan
antara guru laki-laki dan guru perempuan. Banyak buku-buku pelajaran yang
dibuat dengan bahasa dan ilustrasi yang melanggengkan stereotip peran dan
kedudukan perempuan dan laki-laki. Misalnya: ada buku yang mengajarkan bahwa
kegiatan anak perempuan membantu ibu di rumah setelah pulang sekolah sementara
anak laki-laki digambarkan bermain bola. Ilustrasi ini selain melanggengkan
seterotip juga menciptakan pembenaran akan beban kerja domestik untuk
perempuan, termasuk anak-anak. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.[11]
3.
Di tingkat
masyarakat
Masyarakat
sebagai wadah pencetak budaya, nilai, norma dan tradisi yang mencerminkan pola
relasi antara perempuan dan laki-laki. Pemaknaan dan pemberian posisi, peran
dan tanggung jawab akan masing-masing jenis kelamin dan gender dibentuk dalam
bahasa masyarakat sesuai dengan tingkat kepantasan. Masyarakat seolah memiliki
kriteria dan hukum mengenai apa yang pantas, layak dan wajar juga yang tidak
layak, tidak pantas dan diluar kewajaran yang dilakukan oleh laki-laki, juga
oleh perempuan.[12]
4.
Di tingkat
Negara (pemerintah)
Banyak
program pemerintah dan kebijakan Negara yang dibangun dengan konstruksi gender
yang stereotip. Misalnya: POSYANDU merupakan program kesehatan anak yang
dibangun untuk perempuan, dengan asumsi perempuan atau ibu merupakan fihak yang
bertanggungjawab pada kondisi kesehatan keluarga (anak). Sementara banyak
pelatihan teknis (seperti bidang pertanian) hanya bisa diakses laki-laki,
seolah tidak ada perempuan yang menggeluti bidang ini. Namun saat ini gencar
dikampanyekan gerakan keterlibatan ayah di kegiatan POSYANDU. Hal ini telah
berlangsung di beberapa wilayah Indonesia, meskipun masih sangat terbatas.
Perubahan kebijakan ini tentu melihat kebutuhan bahwa perempuan semakin dituntut
untuk memasuki dunia publik karena juga dibutuhkan pemikirannya, sementara
laki-laki juga perlu peka dan lebih intensif terlibat pada kegiatan yang
bersifat domestik, karena keduanya memiliki nilai yang sama. Termasuk menakar
nilai kegiatan produktif (menghasilkan pendapatan) dan reproduktif.
Ini artinya perspektif pembuat kebijakan yang
stereotip akan menciptakan program yang sangat stereotip dan menjadi pembenaran
dan pelanggengan. Negara dan pemerintah menjadi salah satu institusi yang
bertanggungjawab pada pola relasi gender pada masyarakatnya.[13]
D.
Perbedaan Gender dan Ketidakadilan
Perbedaan
gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidak-adilan. Namun yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak-adilan
baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ini merupakan sistem struktur dimana baik
perempuan dan laki-laki menjadi korban. Ketidak-adilan gender termanifestasikan
dalam beragam bentuk: [14]
1.
Gender
dan Marjinalisasi Perempuan
Marjinalisasi atau proses pemiskinan secara ekonomi sesungguhnya
banyak terjadi dalam masyarakat baik yang dialami oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas salah satu jenis kelamin tertentu,
dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender.
Banyak program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang
menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Program swasembada pangan (revolusi
hijau) secara ekonomis telah meminggirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga
memiskinkan mereka. Marjinalisasi tidak hanya terjadi di lingkungan kerja,
namun juga bisa terjadi di rumah tangga, masyarakat dan bahkan negara.
Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam
bentuk diskriminasi atas anggora keluarga antara perempuan dan laki-laki.
Seringkali ini diperkuat oleh adat-istiadat atau tafsir agama.[15]
2.
Gender
dan sub-ordinasi
Adanya pandangan dalam masyarakat serta ‘tuntutan berperilaku’ yang
melekat pada perempuan, misalnya perannya di arena domestik, maka masih banyak perempuan
yang tidak didorong untuk memiliki status sosial dan posisi penting di arena
publik. Perempuan menjadi warga negara kelas dua, dan tidak terlibat dalam
mengambil keputusan bahkan pada kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka
sendiri.[16]
Pendekatan
sosial budaya melihat bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada
konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Adanya
anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional, tidak bisa
tampil memimpin /mengambil keputusan, sehingga ditempatkan pada posisi yang
tidak penting. Contohnya, perihal pendidikan dalam keluarga lebih
diprioritaskan ke anak lelaki ketimbang anak perempuan. [17]
3.
Gender
dan kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi (assault) terhadap
fisik maupun integritas mental seseorang. Kekerasan pada salah satu jenis
kelamin disebabkan oleh pandangan gender. Kekerasan karena bias gender ini
disebut gender related violence. Ini pada dasarnya disebabkan
ketidak-setaraan kekuatan yang ada di masyarakat. Seperti tindak pemerkosaan,
kekerasaan dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk dalam bentuk
penyiksaan terhadap anak (child abuse). Prostitusi juga merupakan bentuk
kekerasaan yang diselenggarakan oleh sistem ekonomi yang merugikan kaum
perempuan. Kekerasan dalam bentuk pornografi, sebagai bentuk kekerasan non
fisik karena perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. Kekerasan
pada perempuan yang diselenggarakan oleh negara misalnya dalam bentuk program
Keluarga Berencana. Dalam rangka menekan angka pertumbuhan program ini telah
menjadikan perempuan sebagai obyek, meskipun semua tahu bahwa persoalan
pertumbuhan penduduk bukan saja terletak pada perempuan, namun juga pada kaum
laki-laki.[18]
4.
Gender
dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Konsekuensinya banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga
kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Di kalangan keluarga miskin semua ini
harus ditanggung sendiri oleh kaum perempuan. Terlebih jika perempuan harus
bekerja, maka ia memikul beban ganda.[19]
5.
Gender
dan stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip itu merugikan dan
menimbulkan ketidak-adilan. Stereotip yang melekat pada kaum perempuan yang
berlaku di suatu masyarakat juga bisa menimbulkan ketidak-adilan. Misalnya ada pandangan
bahwa perempuan bersolek untuk menarik lawan jenisnya. Maka dari pandangan ini,
bila ada tindak kekerasan pada kaum perempuan, misalnya pemerkosaan, masyarakat
cenderung menyalahkan perempuan yang seronok yang bahkan telah menjadi korban.[20]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Gender
adalah
pembagian peran, kedudukan dan tugas
antara perempuan dan laki-laki yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan sifat perempuan
dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan
atau kebiasaan masyarakat.
2.
Gender berbeda dengan jenis kelamin
(seks). bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah
konstruksi sosial. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.
3.
Proses
kontruksi sosial dibangun dalam beragam level yakni: di
tingkat keluarga, pendidikan formal/sekolah, masyarakat, dan di tingkat Negara.
4.
Perbedaan
gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidak-adilan. Ketidak-adilan
gender termanifestasikan dalam beragam bentuk: gender dan marjinalisasi
perempuan, gender dan subordinasi, gender dan kekerasan, gender dan beban
kerja, gender dan stereotip.
DAFTAR
PUSTAKA
Fakih, Mansour.
Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2013.
https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses pada 1 Maret 2016,
pukul 16:32.
Idrus, Muhammad.
Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya. diakses pada 19 februari 2016,
pukul 15:50.
Perempuan,
Meneg Pemberdayaan. Panduan Gender Dalam Perencanaan Partisipatif. Jakarta:
2002.
Pgmi, Lapis.
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial (Gender Sosial Inklusi). Surabaya:
Lapis Pgmi, 2008.
.
[1] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial (Gender Sosial Inklusi), (Surabaya:
Lapis Pgmi, 2008), 44.
[2] Muhammad
Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, diakses pada 19 februari
2016, pukul 15:50, 1.
[3] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 44-45.
[4] Muhammad
Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, 3.
[6] Mansour Fakih, Analisis
Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), 9.
[7] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses pada 1 Maret 2016,
pukul 16:32.
[8] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses pada 1 Maret 2016, pukul 16:32.
[9] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 49-50.
[10] Ibid. 50.
[11] Ibid.,
[12] Ibid. 51.
[13] Ibid.,
[14] Ibid. 52.
[15] Ibid.,
[16] Ibid.,
[17] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses
pada 1 Maret 2016, pukul 16:32.
[18] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 53.
[19] Ibid.,
[3] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 44-45.
[4] Muhammad
Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, 3.
[6] Mansour Fakih, Analisis
Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), 9.
[7] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses pada 1 Maret 2016,
pukul 16:32.
[8] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses pada 1 Maret 2016, pukul 16:32.
[9] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 49-50.
[10] Ibid. 50.
[11] Ibid.,
[12] Ibid. 51.
[13] Ibid.,
[14] Ibid. 52.
[15] Ibid.,
[16] Ibid.,
[17] https://oceufi.wordpress.com/category/gender-sebagai-konstruksi-sosial-budaya/ diakses
pada 1 Maret 2016, pukul 16:32.
[18] Lapis Pgmi,
Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 53.
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,