Jumat, 10 Juni 2016

Makalah Gender Sebagai Kontruksi Sosial

GENDER SEBAGAI KONTRUKSI SOSIAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Gender Sosial Inklusi


Disusun Oleh :
1.      Anisa Siti Aisah          (210613063)
2.      Ulfatu Rohmah           (210613066)
Kelas:
PG.B

Dosen Pengampu:
Irma Rumtianing Uswatul hanifah, MSI



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir di semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payudara. Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial.
Isu tentang gender ini sudah mulai menjadi bahasan pokok serta wacana perdebatan di dalam setiap kajian dan praksis sosial, pembangunan dan perubahan sosial. Proses pembangunan menjadi titik awal perbincangan mengenai isu perempuan dan gender. Intinya adalah suatu gugatan dan protes terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua ranah kehidupan, baik ranah keluarga/rumah tangga, komunitas/masyarakat, ranah negara, maupun komunitas internasional.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud gender?
2.      Apa perbedaan dari jenis kelamin dan gender?
3.      Bagaimana proses kontruksi gender di masyarakat?
4.      Bagaimana bentuk-bentuk ketidakadilan gender?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian gender
2.      Untuk mengetahui perbedaan dari jenis kelamin dan gender
3.      Untuk mengetahui proses kontruksi gender di masyarakat
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gender
Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara perempuan dan laki-laki yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.[1] Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender. Adapun Echols dan Shadily misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara social maupun kultural, dengan begitu tampak jelas bahwa perbedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencangkup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang masyarakat. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena kontruksi sosial dan bukan sekedar jenis kelamin.[2]
Gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain karena norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat berbeda-beda. Misal:
·         Pekerjaan rumah tangga dihampir semua masyarakat manapun dilakukan oleh perempuan, sedangkan di masyarakat perkotaan, mulai dianggap lumrah perempuan dan laki-laki membagi tugas rumah tangga karena perempuan juga bekerja mencari nafkah keluarga.
·         Menjadi tukang batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi di Bali perempuan biasa menjadi tukang batu.
·         Dikebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki-laki, sedangkan di sejumlah masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu adalah tugas utama laki-laki.
Gender yang mengacu pada hubungan peran perempuan dan laki-laki tidak abadi. Suatu nilai yang mempengaruhi hubungan tersebut bisa berlaku di suatu masyarakat dan tidak pada masyarakat yang lainnya. Hal yang sama bisa terjadi pada suatu masa dan belum tentu terjadi kini.[3]Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai konstruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.[4]

B.     Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya yang berbeda dari perempuan. Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui (fungsi reproduksi). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut, perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara sosial budaya kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Ternyata, sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, dan sebagainya.[5]
Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah kembali, sehingga, perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.[6]
Perbedaan Antara Jenis Kelamin dan Gender Beserta Contohnya[7]
Jenis Kelamin
(seks)
Contoh
(Gender)
Contoh
1.Tidak dapat berubah

 Tidak dapat dipertukarkan
3.Berlaku sepanjang masa
4. Berlaku di mana saja
5. Merupakan kodrat Tuhan
6. Ciptaan Tuhan
Alat kelamin laki-laki dan perempuan
Jakun pada laki-laki dan payudara pada perempuan
Status sebagai laki-laki atau perempuan
Di rumah, di kantor, dan dimanapun berada, seorang laki-laki atau perempuan tetap laki-laki dan perempuan.
Laki-laki memiliki cirri-ciri utama yang berbeda dengan cirri-ciri utama perempuan. Misalnya: jakun
Perempuan bisa haid, hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak bisa.
1.Dapat berubah

2. dapat dipertukarkan
3.Tergantung kebudayaan dan kebiasaan
4.Tergantung kebudayaan setempat
5. Bukan merupakan kodrat Tuhan
6. Buatan manusia
Peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti lebih banyak perempuan jadi juru masak jika di rumah, tetapi jika di restoran lebih banyak laki-laki jadi juru masak.
Di Jawa misalnya, pada zaman penjajahan Belanda kaum perempuan tidak memperoleh hak pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, perempuan memiliki kebebasan untuk mengikuti pendidikan. Di maluku juga
Pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan terhadap perempuan dikarenakan budaya setempat, antara lain: diutamakan untuk menjadi perawat, guru TK, pengasuh anak.
Pengaturan jumlah anak dalam suatu keluarga.
Laki-laki dan perempuan berhak menjadi calon ketua RT, RW, kepala desa, bahkan presiden.

C.     Proses Kontruksi Sosial di Masyarakat
Konstruksi merupakan pembentukan dari sistem konseptual kebudayaan dan linguistik. Konstruksi juga bertujuan membuat dunia bermakna kepada yang lain. Makna tercipta dari sistem alih kode, aturan atau kesepakatan maupun tanda secara historis. Konstruksi peran gender adalah bagaimana peran gender dibentuk dari kebudayaan dan disosialisasikan.
Gender juga merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi social budaya bahkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara sosial budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial budaya menjadi seolah-olah ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi sosial dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan social tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.[8]
Perbedaan peran gender yang merupakan bentukan masyarakat tersebut disosialisasikan terus menerus melalui pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam: keluarga (orang tua), sekolah (guru), negara (pembuat kebijakan, penguasa), dan di masyarakat (tokoh masyarakat, pemuka agama, media masa dll.). Misalnya saja sejak kecil anak telah dibiasakan dengan mainan yang berbeda, untuk laki-laki mobil-mobilan, senjata, robot dan sebagainya, sedangkan perempuan diberikan boneka, peralatan tumah tangga dan peralatan masak. Pemberian mainan tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang perbedaan peran masing-masing, bahwa laki-laki menjadi gagah, pemberani dan kelak menjadi penanggung jawab keluarga. Sedangkan kepada perempuan diharapkan bisa mempunyai sifat keibuan yang pintar mengurus anak, masak dan mengurus rumah. Pendidikan dan pembiasaan demikian telah berlangsung lama dan turun-temurun tanpa ada yang mempertanyakan, sehingga terjadi proses internalisasi yang lancar tanpa hambatan. Tidak mengherankan jika kemudian perbedaan yang merupakan hasil bentukan masyarakat tersebut dipahami sebagai kodrat. Oleh karena itu pula masyarakat sangat memegang teguh ‘aturan-aturan’ yang membedakan peran perempuan dan laki-laki. Namun di sisi lain banyak pula yang ‘melanggar’ dan pada akhirnya masyarakat bisa menerima pula.[9]
Hubungan atau relasi antar jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) atau relasi gender dipengaruhi oleh pandangan yang ada antara keduanya. Posisi perempuan, maupun posisi laki-laki sedemikian rupa, di bangun dalam beragam level, yakni:
1.      Di tingkat keluarga
Insitusi keluarga merupakan ruang awal peran dan idiologi gender diperkenalkan. Bahkan seringkali pandangan gender ada sebelum seseorang dilahirkan. Contohnya, keluarga yang mendambakan anak laki-laki menyiapkan segala perlengkapan bayi yang belum lahir dengan warna biru sebagai warna tegas, dan merah bila anaknya perempuan. Pemberian alat permainan yang seterotip pada anak-anak juga merupakan cerminan pandangan gender. Anak laki-laki pastinya tidak diharapkan untuk bermain boneka atau memasak. Pola pengasuhan ini bisa berlanjut hingga menjadi pandangan yang dianggap wajar. Pada komunitas tertentu anak laki-laki tidak dituntut untuk bisa memasak atau melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan. Sementara anak perempuan diajarkan untuk membantu ibu di rumah, dll. Pola pengasuhan dan pendidikan ini akan memperngaruhi pandangan sang anak kelak dalam memilih dan menyesuaikan profesi dan keahliannya. Ini karena mereka terdidik dan diperlakukan demikian. Dan demikian seterusnya. Pola pengasuhan pembedaan ini akan menyumbang pada posisi, peran dan tanggung jawab juga kesempatan yang berbeda antara keduanya. Keluarga berperan melanggengkan bentuk dan relasi gender, baik yang adil maupun yang timpang.[10]
2.      Di tingkat sekolah/pendidikan formal
Isi ajaran pendidikan di sekolah menjadi salah satu dasar pola perilaku dan pandangan mengenai posisi, peran, tanggung dan fungsi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ini bisa dilihat dari kurikulum pengajaran, pola pengajaran dan cara mendidik di sekolah. Ini tidak hanya dialami oleh peserta didik, namun juga pendidik atau guru. Ada banyak bukti pembedaan perlakuan antara guru laki-laki dan guru perempuan. Banyak buku-buku pelajaran yang dibuat dengan bahasa dan ilustrasi yang melanggengkan stereotip peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Misalnya: ada buku yang mengajarkan bahwa kegiatan anak perempuan membantu ibu di rumah setelah pulang sekolah sementara anak laki-laki digambarkan bermain bola. Ilustrasi ini selain melanggengkan seterotip juga menciptakan pembenaran akan beban kerja domestik untuk perempuan, termasuk anak-anak. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.[11]
3.      Di tingkat masyarakat
Masyarakat sebagai wadah pencetak budaya, nilai, norma dan tradisi yang mencerminkan pola relasi antara perempuan dan laki-laki. Pemaknaan dan pemberian posisi, peran dan tanggung jawab akan masing-masing jenis kelamin dan gender dibentuk dalam bahasa masyarakat sesuai dengan tingkat kepantasan. Masyarakat seolah memiliki kriteria dan hukum mengenai apa yang pantas, layak dan wajar juga yang tidak layak, tidak pantas dan diluar kewajaran yang dilakukan oleh laki-laki, juga oleh perempuan.[12]
4.      Di tingkat Negara (pemerintah)
Banyak program pemerintah dan kebijakan Negara yang dibangun dengan konstruksi gender yang stereotip. Misalnya: POSYANDU merupakan program kesehatan anak yang dibangun untuk perempuan, dengan asumsi perempuan atau ibu merupakan fihak yang bertanggungjawab pada kondisi kesehatan keluarga (anak). Sementara banyak pelatihan teknis (seperti bidang pertanian) hanya bisa diakses laki-laki, seolah tidak ada perempuan yang menggeluti bidang ini. Namun saat ini gencar dikampanyekan gerakan keterlibatan ayah di kegiatan POSYANDU. Hal ini telah berlangsung di beberapa wilayah Indonesia, meskipun masih sangat terbatas. Perubahan kebijakan ini tentu melihat kebutuhan bahwa perempuan semakin dituntut untuk memasuki dunia publik karena juga dibutuhkan pemikirannya, sementara laki-laki juga perlu peka dan lebih intensif terlibat pada kegiatan yang bersifat domestik, karena keduanya memiliki nilai yang sama. Termasuk menakar nilai kegiatan produktif (menghasilkan pendapatan) dan reproduktif.
 Ini artinya perspektif pembuat kebijakan yang stereotip akan menciptakan program yang sangat stereotip dan menjadi pembenaran dan pelanggengan. Negara dan pemerintah menjadi salah satu institusi yang bertanggungjawab pada pola relasi gender pada masyarakatnya.[13]
D.    Perbedaan Gender dan Ketidakadilan
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak  melahirkan ketidak-adilan. Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak-adilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ini merupakan sistem struktur dimana baik perempuan dan laki-laki menjadi korban. Ketidak-adilan gender termanifestasikan dalam beragam bentuk: [14]
1.      Gender dan Marjinalisasi Perempuan
Marjinalisasi atau proses pemiskinan secara ekonomi sesungguhnya banyak terjadi dalam masyarakat baik yang dialami oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas salah satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender.
Banyak program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Program swasembada pangan (revolusi hijau) secara ekonomis telah meminggirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Marjinalisasi tidak hanya terjadi di lingkungan kerja, namun juga bisa terjadi di rumah tangga, masyarakat dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggora keluarga antara perempuan dan laki-laki. Seringkali ini diperkuat oleh adat-istiadat atau tafsir agama.[15]
2.      Gender dan sub-ordinasi
Adanya pandangan dalam masyarakat serta ‘tuntutan berperilaku’ yang melekat pada perempuan, misalnya perannya di arena domestik, maka masih banyak perempuan yang tidak didorong untuk memiliki status sosial dan posisi penting di arena publik. Perempuan menjadi warga negara kelas dua, dan tidak terlibat dalam mengambil keputusan bahkan pada kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka sendiri.[16]
Pendekatan sosial budaya melihat bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional, tidak bisa tampil memimpin /mengambil keputusan, sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Contohnya, perihal pendidikan dalam keluarga lebih diprioritaskan ke anak lelaki ketimbang anak perempuan. [17]
3.      Gender dan kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental seseorang. Kekerasan pada salah satu jenis kelamin disebabkan oleh pandangan gender. Kekerasan karena bias gender ini disebut gender related violence. Ini pada dasarnya disebabkan ketidak-setaraan kekuatan yang ada di masyarakat. Seperti tindak pemerkosaan, kekerasaan dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk dalam bentuk penyiksaan terhadap anak (child abuse). Prostitusi juga merupakan bentuk kekerasaan yang diselenggarakan oleh sistem ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Kekerasan dalam bentuk pornografi, sebagai bentuk kekerasan non fisik karena perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. Kekerasan pada perempuan yang diselenggarakan oleh negara misalnya dalam bentuk program Keluarga Berencana. Dalam rangka menekan angka pertumbuhan program ini telah menjadikan perempuan sebagai obyek, meskipun semua tahu bahwa persoalan pertumbuhan penduduk bukan saja terletak pada perempuan, namun juga pada kaum laki-laki.[18]
4.      Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Di kalangan keluarga miskin semua ini harus ditanggung sendiri oleh kaum perempuan. Terlebih jika perempuan harus bekerja, maka ia memikul beban ganda.[19]
5.      Gender dan stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip itu merugikan dan menimbulkan ketidak-adilan. Stereotip yang melekat pada kaum perempuan yang berlaku di suatu masyarakat juga bisa menimbulkan ketidak-adilan. Misalnya ada pandangan bahwa perempuan bersolek untuk menarik lawan jenisnya. Maka dari pandangan ini, bila ada tindak kekerasan pada kaum perempuan, misalnya pemerkosaan, masyarakat cenderung menyalahkan perempuan yang seronok yang bahkan telah menjadi korban.[20]



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara perempuan dan laki-laki yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.
2.      Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.
3.      Proses kontruksi sosial dibangun dalam beragam level yakni: di tingkat keluarga, pendidikan formal/sekolah, masyarakat, dan  di tingkat Negara.
4.      Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak  melahirkan ketidak-adilan. Ketidak-adilan gender termanifestasikan dalam beragam bentuk: gender dan marjinalisasi perempuan, gender dan subordinasi, gender dan kekerasan, gender dan beban kerja, gender dan stereotip.


DAFTAR PUSTAKA


Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013.
Idrus, Muhammad. Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya. diakses pada 19 februari 2016, pukul 15:50.
Perempuan, Meneg Pemberdayaan. Panduan Gender Dalam Perencanaan Partisipatif. Jakarta: 2002.
Pgmi, Lapis. Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial (Gender Sosial Inklusi). Surabaya: Lapis Pgmi, 2008.
.



[1] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial (Gender Sosial Inklusi), (Surabaya: Lapis Pgmi, 2008), 44.
[2] Muhammad Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, diakses pada 19 februari 2016, pukul 15:50, 1.
[3] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 44-45.
[4] Muhammad Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, 3.
[5] Meneg Pemberdayaan Perempuan, Panduan Gender Dalam Perencanaan Partisipatif, (Jakarta: 2002).
[6] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), 9.
[9] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 49-50.
[10] Ibid. 50.
[11] Ibid.,
[12] Ibid. 51.
[13] Ibid.,
[14] Ibid. 52.
[15] Ibid., 
[16] Ibid.,
[18] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 53.
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,[2] Muhammad Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, diakses pada 19 februari 2016, pukul 15:50, 1.
[3] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 44-45.
[4] Muhammad Idrus, Jurnal Kontruksi Gender dalam Budaya, 3.
[5] Meneg Pemberdayaan Perempuan, Panduan Gender Dalam Perencanaan Partisipatif, (Jakarta: 2002).
[6] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), 9.
[9] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 49-50.
[10] Ibid. 50.
[11] Ibid.,
[12] Ibid. 51.
[13] Ibid.,
[14] Ibid. 52.
[15] Ibid., 
[16] Ibid.,
[18] Lapis Pgmi, Panduan Pelatihan Inklusi Gender dan Sosial, 53.
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,