Berkunjung ke Yogyakarta
Waktu itu, pada tanggal 14 November
saya dan teman satu kelas pergi berkunjung ke Yogyakarta. Kami tidak hanya satu
kelas namun semua anak PGMI angkatan 2013 ditambah dua kelas dari PAI. Dari
semua peserta kami menggunakan 4 bus besar. Satu bus di isi dengan 60 anak.
Saya dan rekan satu kelas mendapat tempat di bus tiga. Ada juga sebagian dari
teman kami yang berada di bus dua. Sebenarnya Kunjungan ini juga masuk dalam
kategori tugas kuliah. Karena disana
kita tidak hanya bersenang-senang namun juga harus mengamati suatu tempat guna
memenuhi tugas akhir kami.
Hari itu, hari kamis tepat pukul 23.00 kami berangkat dari
Ponorogo menuju Yogyakarta. Tujuan pertama kami adalah Pantai Indrayanti. Kami
tiba di tempat tujuan yang pertama kira-kira pukul 04.30. Disana kami bisa
merasakan betapa indahnya ciptaan Allah. Di pantai Indrayanti kami sholat subuh
dan mandi yang ingin. Disana kami menikmatinya, kami mengambil beberapa gambar
sebagai kenang-kenangan. Kami tidak lama di Pantai Indrayanti, karena masih
banyak hal yang harus dilakukan. Setelah selesai di pantai Indrayanti kami
melanjutkan perjalanan kami menuju tempat utama tujuan kami pergi ke
Yogyakarta, yaitu adalah Taman Sari. Sebelum ke Taman Sari kami singgah dulu di
Rumah Makan Griya Wiono. Kami tiba di
Taman Sari pukul 11.45 kurang lebih. Disitu kami harus mengamati berbagai objek
peninggalan bersejarah.
Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton
Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta. Kebun
ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1755-1765. Pesanggrahan Taman Sari dibangun
setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian
lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Awalnya, taman yang mendapat sebutan
"The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare
dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan
gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah
air. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuklah Tumenggung
Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun,
Tumenggung Prawirosentiko, beserta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah
Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek
diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri.
Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun beberapa bangunan yang ada
mengindikasikan Taman Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika
istana diserang oleh musuh. Konon salah seorang arsitek kebun kerajaan ini
adalah seorang Portugis yang lebih dikenal dengan Demang Tegis. Maka dari itu
banyak pemandu wisata
Taman Sari menyebutkan bahwa disain bangunan taman Sari merupakan perpaduan /
kolaborasi dari budaya Jawa, Islam, Cina, Eropa, Hindu, dan Portugis. Bukti
dari perpaduan budaya tersebut adanya ornamen-ornamen yang dipengaruhi unsur
budaya Cina, terlihat dari ornamen yang berbentuk ular naga di atas setiap
pintu yang menyerupai gapura dan memiliki anak tangga. Ornamen lain yang bisa
dilihat adalah ukiran daun, tumbuhan, dan wajah manusia, juga relief-relief di
dinding yang bergaya Jawa Hindu. Pada awalnya, Taman Sari atau disebut juga
sebagai Pesanggrahan ini merupakan sebuah tempat yang dikhususkan bagi Raja dan
keturunannya untuk bersantai, berenang, bersenang-senang, juga bermeditasi.
Maka disain Taman Sari ini dibuat sesejuk dan serileks mungkin. Disain taman
pun dipengaruhi oleh kebudayaan Portugis, dilihat dari konsep taman yang
dibangun cukup luas, mewah, dan memiliki banyak pot bunga yang besar.
Taman Sari mempunyai banyak bangunan
dan bangunan-bangunan
itu memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau kegunaannya. Saat
pertama masuk pada kawasan taman sari kami di hadapkan oleh bangunan gapura
yang tinggi dan besar. Nama bangunan itu adalah “Gedhong Gapura Panggung”.
Sebenarnya gapura ini bukan pintu masuk utama taman sari melainkan pintu
belakang. Bangunan ini memiliki empat buah jenjang, dua jenjang disisi barat
dan dua lagi di sisi Timur. Dulu bangunan ini terdapat empat buah patung ular
naga namun sekarang hanya tersisa dua buah saja. Di Gapura Panggung ini
terdapat sebuah balkon yang difungsikan sebagai tempat Sri Sultan melihat
putri-putri yang menarikan tarian Jawa. Pada dinding Gapura terdapat ukiran
bunga lotus dan simbol matahari bercorak Budha. Ukiran ini melambangkan tahun
dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira tahun 1758 Masehi). Di tenggara dan timur laut Gedhong Gapuro Panggung terdapat
bangunan yang disebut dengan ''Gedhong Temanten’'. Bangunan ini dulu digunakan
sebagai tempat penjaga keamanan bertugas dan tempat istirahat, ada juga yang
menyebutkan bahwa tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyambut tamu yang
berkunjung ke Taman Sari. Menurut sebuah
rekonstruksi Taman Sari di selatan bangunan ini terdapat sebuah bangunan lagi
yang sekarang tidak ada bekasnya sedangkan di sisi utaranya terdapat kebun yang
juga telah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Setelah kami meliwati gapura tersebut
ada sebuah halaman berbentuk bersegi delapan yang dihiasi dengan deretan pot bunga raksasa dan
berdiri empat
buah bangunan yang serupa, bangunan tersebut namanya
adalah “Gedhong Sekawan”. Tempat ini digunakan oleh Sri Sultan dan
keluarganya untuk istirahat. Dan juga saat diadakannya
tari-tarian tradisional tempat ini digunakan untuk tempat para penabuh gamelan.
Disetiap sisi halaman terdapat pintu yang menghubungkan dengan halaman lain.
Setelah dari halaman tersebut, kita dihadapkan lagi
oleh sebuah gerbang tinggi yang menuju tempat pemandian Sultan dan keluarganya.
Kompleks ini
dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Dulunya area ini hanya diperbolehkan untuk Sultan dan para
perempuan saja. Ini memungkinkan karena semua perempuan (permainsuri,selir) dan
para putri Sultan yang masuk ke dalam Taman Sari ini harus lepas baju
(telanjang), sehingga selain perempuan dilarang keras oleh sultan untuk masuk
ke area pemandian. Untuk sampai ke dalam tempat ini disediakan dua buah
gerbang, satu di sisi timur dan satunya di sisi barat. Di dalam gerbang ini
terdapat jenjang yang menurun. Saat kami masuk
Gemericik air langsung menyapa. Airnya yang jernih berpadu apik dengan
tembok-tembok krem gagah yang mengitarinya. Tempat itu biasa disebut
dengan nama "Umbul Pasiraman" atau ada
yang menyebut dengan “Umbul Binangun". Di kompleks Umbul
Pasiraman terdapat tiga buah kolam yang disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar,
Umbul Panguras dan ketiga kolam tersebut dihiasi dengan mata
air yang berbentuk jamur. Umbul Panguras adalah kolam pemandian khusus
bagi Sri Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian yang
disediakan bagi permaisuri dan selir, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya
Raja. Sebuah jalan
mirip dermaga menjadi batas antara umbul pamuncar dengan sebuah kolam di
selatannya, yaitu umbul pangurass. Disekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Selain kolam
juga terdapat bangunan di sisi utara dan di tengah sebelah selatan. Dihadapan
Umbul Pamuncar ini terdapat sebuah bangunan bertingkat tiga. Dibawah bagunan
itu ada sebuah patung yang memancarkan air dari mulutnya. Corak bangunan
tersebut merupakan perpaduan dari budaya Islam dan Budha.
Di
lantai satu bangunan ini terdapat kamar yang berfungsi sebagai ruang ganti
Raja. Sri Sultan biasanya duduk di lantai tiga bangunan yang berada di hadapan
Umbul Pamuncar untuk melihat para selir yang berenang di kolam. Sri Sultan
punya cara sendiri untuk memilih selir yang akan menemaninya berenang di Umbul
Panguras, kolam yang dikhususkan untuk Sri Sultan dan selir yang terpilih. Sri
Sultan akan melempar bunga canthil ke dalam kolam dan selir yang mendapat bunga
itulah yang terpilih menemani Sri Sultan. Selir-selir yang tidak terpilih
kemudian kembali ke keraton.
Di
dalam ruang ganti Sri Sultan terdapat westafel berbentuk kendi. Sisi luar kendi
ini diukir dengan ukiran Jawa asli. Disini terlihat pengaruh budaya Jawa pada
pernak-pernik bangunan Taman Sari. Kendi ini diisi dengan air yang dipergunakan
Sri Sultan untuk membasuh muka. Dan disana juga ada sebuah periuk tempat
istri-istri Sultan bercermin masih utuh berdiri. Ornament yang menghiasi periuk
member kesan glamor terhadap benda yang terletak disamping lemari pakaian
Sultan tersebut. Bisa kita bayangkan, 200 tahun lalu seorang wanita cantik
menunggu air diperiuk ini hingga tenang lalu dia menundukkan kepalanya,
memperbaiki riasan dan sanggulnya, memperindah raganya sembari bercermin.
Selain itu dimenara bertingkat tiga ini ada tangga dari kayu jati yang masih
utuh terawatt sehingga member kesan antic bagi siapa saja yang melihatnya. Naik
ke tingkat paling atas, pantulan mentari dari kolam dibawahnya dan seluruh area
taman sari terlihat dengan jelas, Taman Sari yang masih lengkap dengan danau
buatannya dan bunga-bunga yang semerbak mewangi. Dan Jendela di tiap ruangan di
Taman sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang
berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet
tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi. Ukiran tersebut, menurut
penuturan pemandu wisata, adalah simbol pembuatan Taman Sari. Dan sebelah utara
umbul kawitan merupakan tempat istirahat dan
berganti pakaian bagi para puteri dan istri (selir).
Selanjutnya
dari umbul pasiraman kami menuju sebuah halaman yang sangat luas. Sebelum
ke halaman tersebut kami meliwati pintu masuk yang seperti gapura namun sebenarnya itu hanyalah gerbang masuk biasa. Dan
diatas gerbang itu ada sebuah ukiran yang namanya “Kala
Makara”. Ukiran tersebut dipercaya sebagai pengusir roh jahat. Gaya ukiran
tersebut merupakan perpaduan/ kolaborasi antara kebudayaan yang ada di
Yogyakarta dengan kebudayaan Eropa, Portugis. Dan diujung paling Barat
dari halaman tersebut ada lagi sebuah gapura yang
hampir sama dengan gapura panggung. Gapura itu disebut dengan “Gapura Hageng
atau Gapura Agung”.
Gapura Agung merupakan tempat kedatangan
kereta kencana yang biasa dinaiki Sultan dan keluarganya. Kala itu Taman Sari menghadap kearah Barat dan
memanjang kearah Timur. Gapura yang mempunyai beberapa ruang dan dua
jenjang ini dominan dengan ornamen bunga
dan sayap burung yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada
tahun 1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi). Pesanggrahan tepat di selatan
Taman Sari menjadi tujuan berikutnya. Sebelum berperang, Sultan akan bersemedi
di tempat ini. Suasana senyap dan hening langsung terasa ketika kami masuk. Di sini, Sultan pastilah memikirkan
berbagai cara negosiasi dan strategi perang supaya kedaulatan Keraton
Yogyakarta tetap terjaga. Di
sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari terdapat halaman bersegi delapan.
Dahulu di tengah halaman ini berdiri sebuah menara berlantai dua yang bernama
"Gedhong Lopak-lopak", versi lain menyebut gopok-gopok. Sekarang
gedung ini sudah tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga
raksasa serta pintu-pintu yang menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya.
Areal ini juga menjadi tempat penyimpanan senjata-senjata, baju perang, dan
tempat penyucian keris-keris jaman dahulu. Pelatarannya biasa digunakan para
prajurit berlatih pedang. Namun sekarang gapura agung ini tidak lagi dijadikan
pintu utama lagi karena di sebelah baratnya sudah dipenuhi oleh pemukiman
penduduk.
Lepas
dari gapura hageng, kami melanjutkan perjalanan kami menuju masjid bawah tanah
atau sumur gumuling. Untuk menuju tempat tersebut, kami melewait gang kecil
yang dipadati oleh pemukiman penduduk. Dalam deretan rumah tersebut ada
beberapa rumah yang membuka untuk kursus membatik khas Yogyakarta. Masyarakat
sekitar taman sari juga termasuk abdi dalem kraton karena masyarakat disitu
banyak yang bekerja di taman sari. Dan sebenarnya tanah yang mereka tempati
untuk membangun rumah adalah tanah milik sultan. Kalau sewaktu-waktu sultan
mengharapkan mereka pindah maka dengan ringan hati mereka juga akan pindah dari
area taman sari tersebut. Kami berjalan dari gapura hageng ke sumur gumuling
membutuhkan waktu kurang lebih lima menit.
Bangunan
Sumur Gemuling ini sedikit banyak dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Jawa Islam.
Hal ini terlihat dari konsep bangunan yang menyerupai kubah masjid dan pintu
yang melengkung. Bangunan berlantai 2 ini hanya dapat dimasuki melalui
terowongan bawah air saja. Masjid bawah
tanah atau Sumur Gumuling ini dahulu sebagai pusat peribadatan Raja Keraton
beserta keluarganya. Bentuk bangunan masjid ini tidak seperti masjid umumnya,
Masjid ini berbentuk bulat. Di masing-masing lantai terdapat dua mihrab atau
tempat berdiri imam untuk memimpin salat jamaah. Lantai pertama digunakan untuk
jamaah perempuan dan lantai ke dua untuk jamaah laki-laki. Dikatakan pada zaman
dahulu, ketika imam mempimpin shalat, suara imam dapat terdengar dengan baik ke
segala penjuru. Sekarang pun, hal itu masih dapat dirasakan. Suara percakapan
dari orang-orang yang ada jauh dari kita terasa seperti mereka sedang berada di
samping kita.
Selain
itu, Untuk menuju ke pusat masjid, lagi-lagi harus melewati lorong-lorong yang
gelap. Pada bagian dalam bangunan masjid, terdapat sumur dikelilingi lima
tangga yang melambangkan jumlah rukun Islam ada juga versi yang menyebutkan
lima tangga tersebut melambangkan sholat lima waktu. Persis di bawah tangga
yang saling bertemu di tengah terdapat kolam air dari sumur gumuling. Sumur
tersebut biasanya difungsikan oleh Sultan untuk tempat wudhu. Di dalam Sumur
Gemuling ini terdapat sebuah lorong yang digunakan Sri Sultan untuk bermunajad
atau meditasi. Lorong ini sempat digunakan sebagai tempat perlindungan dari
serangan musuh pada awal tahun 80an atau pada zaman Yogyakarta diserang musuh.
Bagian atas masjid membentuk bulatan tanpa atap. Di bagian dinding juga
terdapat banyak ventilasi sehingga cahaya matahari leluasa menerangi bagian
dalam masjid. Dan Uniknya lagi bangunan masjid ini temboknya direkatkan tidak
memakai semen seperti sekarang ini, melainkan direkatkan dengan putih telur. Dan
dengan berkunjung ke masjid tersebut menyiratkan jejak perkembangan islam di Keraton Yogyakarta dan
kemegahan arsitektur masa lalu. Menurut penuturan pemandu wisata banyak
Wisatawan yang mendokumentasikan tempat ini dengan foto narsis ataupun prewedding.
Persinggahan terakhir kami adalah “Pulo Cemethi”. Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai
''Pulo Panembung”. Di tempat inilah konon Sultan bermeditasi. Ada juga yang
menyebutnya sebagai "Sumur Gumantung", sebab di sebelah selatannya
terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat
ini konon dengan melalui terowongan bawah air. Saat ini bangunan ini sedang
dalam tahap renovasi besar - besaran yang bertujuan untuk merestorasi bangunan
- bangunan yang masih ada.
Sebelum
memasuki Pulau Panembung, kami duduk-duduk sambil mengambil potret bangunan di
sekitar kami. Sang pemandu wisata mulai
bercerita kembali bahwa di sebelah kanannya ada sebuah tembok besar yang sangat
tinggi. Disitulah ada yang namanya danau buatan atau yang disebut dengan
“Segaran” (harfiah=laut buatan) serta bangunan yang ada ditengahnya, dan
bangunan serta taman dan kebun yang berada di sekitar danau tersebut. Disamping
untuk memelihara berbagai jenis ikan, danau tersebut difungsikan sebagai tempat
bersampan Sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini tidak lagi
berisi air melainkan telah menjadi pemukiman padat yang dikenal dengan kampong
Taman. Bangunan-bangunan yang tersisa dalam kondisi yang memprihatinkan.
Saat
dipenuhi air di tengah-tengah Segaran terdapat
sebuah pulau buatan, yaitu ''Pulo Kenongo’', yang ditanami pohon Kenanga
(''Kananga odorantum''). Di atas pulau buatan tersebut didirikan sebuah gedung
berlantai dua ''Gedhong Kenongo’'.
Gedung terbesar di bagian pertama ini cukup tinggi. Dari anjungan tertingginya
orang dapat mengamati kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya sampai ke luar
benteng baluwarti. Konon Gedhong Kenongo terdiri dari beberapa ruangan dengan
fungsi berbeda. Dari jauh gedung ini seperti mengambang di atas air. Oleh
karenanya tidak mengherankan jika kemudian Taman Sari dijuluki dengan nama
"Istana Air" (Water Castle). Saat ini gedung ini tinggal
puing-puingnya saja. Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat deratan bangunan
kecil yang disebut dengan ''Tajug". Bangunan ini merupakan menara
ventilasi udara bagi terowongan bawah air. Terowongan ini merupakan jalan masuk
menuju Pulo Kenongo selain menggunakan sampan/perahu mengarungi danau buatan.
Dahulu di bagian barat pulau buatan tersebut juga terdapat terowongan, namun
kondisinya sekarang kurang terawat dibandingkan dengan terowongan selatan. Lalu
kami masuk sebuah lorong yang menuju pulau panembung, namun dua teman kami
memisahkan diri, mereka terlihat capek sehingga menunggu kami di luar.
Sesungguhnya lorong ini sekaligus jalan
keluar kami dari taman sari.
Sebenarnya masih
banyak lagi lokasi taman sari, namun peninggalan itu hanya tersisa
puing-puingnya saja karena pada waktu itu Yogyakarta terkena bencana dan juga
karena terjadinya peperangan dengan Inggris, sehingga sebagian peninggalan
keraton tinggal bekasnya saja. Ada juga yang telah diubah menjadi area
pemukiman penduduk. Aslinya Taman Sari itu dibagi menjadi empat bagian, bagian
pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Pada zamannya, tempat
ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan
yang disebut ''Segaran, Pulau Kenongo, Pulau Cemethi dan Sumur Gumuling yang
telah diuraikan diatas. Bagian kedua yang terletak di sebelah selatan danau
buatan segaran merupakan bagian yang relatif paling utuh dibandingkan dengan
bagian lainnya. Bagian yang tetap terpelihara adalah bangunan sedangkan taman
dan kebun di bagian ini tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini merupakan
bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan. Bagian ini meliputi Gapura
Agung, Gedong Lopak-lopak, Umbul Pasiraman, Gedhong Sekawan, Gedhong Gapura
Panggung dan Gedhong Temanten.
Bagian yang ketiga
tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Oleh karenanya deskripsi di
bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi yang ada. Dahulu bagian ini
meliputi Kompleks "Pasarean Dalem Ledok Sari" dan Kompleks kolam
"Garjitawati" serta beberapa bangunan lain dan taman/kebun. Pasarean
Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini yang tetap terjaga. Pasarean
Dalem Ledok Sari konon merupakan tempat peraduan Sultan bersama Pemaisurinya.
Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya berbentuk seperti U.
di tengah bangunan terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya mengalir
aliran air. Sebuah dapur, ruang penjahit, ruang penyimpanan barang, dan dua
kolam untuk pelayan begitu pula kebun rempah-rempah, buah-buahan, dan
sayur-sayuran diperkirakan berada bagian ini. Di sebelah baratnya dulu terdapat
kompleks kolam Garjitawati. Jika hal itu benar maka kompleks ini merupakan sisa
pesanggrahan Garjitawati yang merupakan
bekas keraton lama. Yang digunakan sebagai tempat istirahat kereta kuda yang
akan pergi ke Imogiri.
Bagian
ke empat atau bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa
lagi kecuali bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini
hampir seluruhnya merupakan sebuah rekonstruksi dari sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri dari sebuah danau buatan
beserta bangunan di tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang
menghubungkan danau buatan ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta
sebuah kebun. Danau buatan terletak di sebelah tenggara kompleks Magangan
sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya terdapat pulau buatan yang
konon disebut "Pulo Kinupeng". Di atas pulau tersebut berdiri sebuah
bangunan yang konon disebut dengan "Gedhong Gading". Bangunan yang
menjulang tinggi ini disebut sebagai menara kota (''Cittadel Tower'').
Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke
arah barat serta berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di
kanal ini terdapat dua penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan
gantung. Salah satu jembatan tersebut berada di jalan yang menghubungkan
kompleks Magangan dengan Kamandhungan Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini
masih dapat disaksikan, walaupun jembatannya sendiri telah lenyap. Di sebelah
barat jembatan gantung terdapat sebuah dermaga. Dermaga ini konon digunakan Sultan
sebagai titik awal perjalanannya masuk ke Taman Sari. Konon Sultan masuk ke
Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan Kanal terdapat kebun. Kebun ini
berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul.
Kini semua tempat itu telah menjadi pemukiman penduduk. Kebunnya telah berubah
menjadi kampung Ngadisuryan sedangkan danau buatan berubah menjadi kampung
Segaran.
Kami mendapatkan informasi seperti
ini dari para pemandu wisata yang ada di Taman Sari. Setelah dari pulau panembung
tadi, kami bersama dengan pemandu wisata berjalan menuju masjid yang dekat
dengan taman sari. Dalam perjalanan menuju masjid, kami mulai bingung akan
memberi apa pada pemandu sebagai ungkapan terima kasih. Kami berdebat satu sama
lain akhirnya sang pemandu mengambil keputusan, katanya tidak perlu adanya
wujud terima kasih karena dia sendiri juga masih training jadi masih sama-sama
belajar. Kami patungan dan hasil patungan tadi kami serahkan pada pemandu
sebagai ungkapan terima kasih.
Kami selesai dari Taman Sari kira-kira pukul
13.50 WIB. Dan kami akan meneruskan perjalanan kami ke Keraton Yogyakarta. Dari
Taman Sari ke Keraton membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit jalan kaki. Kami
sampai dikeraton pukul 14.05. Namun sayangnya, sesampai kami di Keraton,
ternyata Keratonnya sudah tutup. Ternyata keraton tutup pukul 14.00 WIB.
Karena keratonnya sudah tutup
akhirnya kami langsung pergi menuju rumah makan Dapur Sambel yang letaknya
tidak jauh dari Keraton. Di situ, kami makan, mandi dan sholat. Selesai dari
rumah makan kami sekarang sudah boleh istirahat sesuka hati kami. Terserah mau
kemana saja. Kami pun memutuskan untuk pergi berbelanja di pasar yang menjadi
tujuan para wisatawan, yaitu pasar Malioboro. Sayangnya, waktu itu cuacanya
sangat tidak mendukung. Hujan pun mengguyur daerah Yogyakarta. Dengan hati
kecewa kami akhirnya mencari sebuah Mushola untuk tempat kami berteduh. Kami
menunggu hujan hingga reda. Waktupun semakin sore, tapi hujan pun tak kunjung
reda. Kami memutuskan untuk pergi berbelanjanya setelah magrib. Walaupun waktu
itu, setelah magrib pun hujannya masih gerimis kecil-kecil. Namun, mau gimana
lagi kami pun akhinya menerjang hujan tersebut untuk sampai di tempat yang kami
inginkan. Kami di Malioboro hanya di beri waktu sampai jam delapan malam. Di
Malioboro kami membeli aneka jajanan khas Yogyakarta, yang tidak ketinggalan
yaitu Geplak dan Bakpia Pathok. Kami juga membeli kaos yang bertuliskan Jogja,
sebagai cindera mata bahwa kami pernah singgah di kota Yogyakarta. Sebelum kami
meninggalkan Malioboro, di jalanan kami melihat orang yang berpenampilan
seperti hantu yang terkenal di Indonesia. Karena merasa penasaran kami
mengambil beberapa gambar bersama mereka. Saat mengambilgambar kami membayar
seiklasnya. Menurut salah satu dari mereka, uang hasil dari berfoto ini akan
mereka gunakan untuk membangun tempat sampah disekitar jalan Malioboro.
Pukul 20.00 WIB kami bergegas menuju
ke bus. Karena kami harus kembali melanjutkan perjalanan kami menuju Ponorogo.
Ketika masuk bus suasananya lebih ramai dari persiapan pemberangkatan. Kami
sibuk merapikan oleh-oleh yang dibeli tadi. Sebenarnya Kami pun merasa tidak
ingin cepat-cepat meninggalkan keindahan Yogyakarta. Dalam hati kami bertekad
untuk kembali mengunjungi Yogyakarta jika ada waktu luang. Untuk mengenang
semua itu kami telah mengabadikannya dalam sebuah foto. Dan dalam ingatan kami
pun Jogja adalah tempat yang penuh dengan keindahan. Selamat tinggal Yogyakarta. Wait us come back.
Pukul 01.00 WIB kami tiba di kampus
STAIN PONOROGO. Tanpa basa basi kami langsung melesat pulang ke rumah
masing-masing.
THE
END