Sabtu, 21 Februari 2015

Berkunjung ke Yogyakarta


Berkunjung ke Yogyakarta

Waktu itu, pada tanggal 14 November saya dan teman satu kelas pergi berkunjung ke Yogyakarta. Kami tidak hanya satu kelas namun semua anak PGMI angkatan 2013 ditambah dua kelas dari PAI. Dari semua peserta kami menggunakan 4 bus besar. Satu bus di isi dengan 60 anak. Saya dan rekan satu kelas mendapat tempat di bus tiga. Ada juga sebagian dari teman kami yang berada di bus dua. Sebenarnya Kunjungan ini juga masuk dalam kategori tugas kuliah. Karena  disana kita tidak hanya bersenang-senang namun juga harus mengamati suatu tempat guna memenuhi tugas akhir kami.
        Hari itu, hari kamis tepat pukul 23.00 kami berangkat dari Ponorogo menuju Yogyakarta. Tujuan pertama kami adalah Pantai Indrayanti. Kami tiba di tempat tujuan yang pertama kira-kira pukul 04.30. Disana kami bisa merasakan betapa indahnya ciptaan Allah. Di pantai Indrayanti kami sholat subuh dan mandi yang ingin. Disana kami menikmatinya, kami mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan. Kami tidak lama di Pantai Indrayanti, karena masih banyak hal yang harus dilakukan. Setelah selesai di pantai Indrayanti kami melanjutkan perjalanan kami menuju tempat utama tujuan kami pergi ke Yogyakarta, yaitu adalah Taman Sari. Sebelum ke Taman Sari kami singgah dulu di Rumah Makan Griya Wiono.  Kami tiba di Taman Sari pukul 11.45 kurang lebih. Disitu kami harus mengamati berbagai objek peninggalan bersejarah.
Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta. Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1755-1765. Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan.  Awalnya, taman yang mendapat sebutan "The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuklah Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun, Tumenggung Prawirosentiko, beserta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun beberapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang oleh musuh. Konon salah seorang arsitek kebun kerajaan ini adalah seorang Portugis yang lebih dikenal dengan Demang Tegis. Maka dari itu banyak pemandu wisata Taman Sari menyebutkan bahwa disain bangunan taman Sari merupakan perpaduan / kolaborasi dari budaya Jawa, Islam, Cina, Eropa, Hindu, dan Portugis. Bukti dari perpaduan budaya tersebut adanya ornamen-ornamen yang dipengaruhi unsur budaya Cina, terlihat dari ornamen yang berbentuk ular naga di atas setiap pintu yang menyerupai gapura dan memiliki anak tangga. Ornamen lain yang bisa dilihat adalah ukiran daun, tumbuhan, dan wajah manusia, juga relief-relief di dinding yang bergaya Jawa Hindu. Pada awalnya, Taman Sari atau disebut juga sebagai Pesanggrahan ini merupakan sebuah tempat yang dikhususkan bagi Raja dan keturunannya untuk bersantai, berenang, bersenang-senang, juga bermeditasi. Maka disain Taman Sari ini dibuat sesejuk dan serileks mungkin. Disain taman pun dipengaruhi oleh kebudayaan Portugis, dilihat dari konsep taman yang dibangun cukup luas, mewah, dan memiliki banyak pot bunga yang besar.
Taman Sari mempunyai banyak bangunan dan bangunan-bangunan itu memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau kegunaannya. Saat pertama masuk pada kawasan taman sari kami di hadapkan oleh bangunan gapura yang tinggi dan besar. Nama bangunan itu adalah “Gedhong Gapura Panggung”. Sebenarnya gapura ini bukan pintu masuk utama taman sari melainkan pintu belakang. Bangunan ini memiliki empat buah jenjang, dua jenjang disisi barat dan dua lagi di sisi Timur. Dulu bangunan ini terdapat empat buah patung ular naga namun sekarang hanya tersisa dua buah saja. Di Gapura Panggung ini terdapat sebuah balkon yang difungsikan sebagai tempat Sri Sultan melihat putri-putri yang menarikan tarian Jawa. Pada dinding Gapura terdapat ukiran bunga lotus dan simbol matahari bercorak Budha. Ukiran ini melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira tahun 1758 Masehi). Di tenggara dan timur laut Gedhong Gapuro Panggung terdapat bangunan yang disebut dengan ''Gedhong Temanten’'. Bangunan ini dulu digunakan sebagai tempat penjaga keamanan bertugas dan tempat istirahat, ada juga yang menyebutkan bahwa tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Taman Sari.  Menurut sebuah rekonstruksi Taman Sari di selatan bangunan ini terdapat sebuah bangunan lagi yang sekarang tidak ada bekasnya sedangkan di sisi utaranya terdapat kebun yang juga telah berubah menjadi pemukiman penduduk.
        Setelah kami meliwati gapura tersebut ada sebuah halaman berbentuk bersegi delapan yang dihiasi dengan deretan pot bunga raksasa dan berdiri empat buah bangunan yang serupa, bangunan tersebut namanya adalah “Gedhong Sekawan”. Tempat ini digunakan oleh Sri Sultan dan keluarganya untuk  istirahat. Dan juga saat diadakannya tari-tarian tradisional tempat ini digunakan untuk tempat para penabuh gamelan. Disetiap sisi halaman terdapat pintu yang menghubungkan dengan halaman lain.
Setelah dari halaman tersebut, kita dihadapkan lagi oleh sebuah gerbang tinggi yang menuju tempat pemandian Sultan dan keluarganya. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Dulunya area ini hanya diperbolehkan untuk Sultan dan para perempuan saja. Ini memungkinkan karena semua perempuan (permainsuri,selir) dan para putri Sultan yang masuk ke dalam Taman Sari ini harus lepas baju (telanjang), sehingga selain perempuan dilarang keras oleh sultan untuk masuk ke area pemandian. Untuk sampai ke dalam tempat ini disediakan dua buah gerbang, satu di sisi timur dan satunya di sisi barat. Di dalam gerbang ini terdapat jenjang yang menurun. Saat kami masuk Gemericik air langsung menyapa. Airnya yang jernih berpadu apik dengan tembok-tembok krem gagah yang mengitarinya. Tempat itu biasa disebut dengan nama "Umbul Pasiraman" atau ada yang menyebut dengan “Umbul Binangun". Di kompleks Umbul Pasiraman terdapat tiga buah kolam yang disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, Umbul Panguras dan ketiga kolam tersebut dihiasi dengan mata air yang berbentuk jamur. Umbul Panguras adalah kolam pemandian khusus bagi Sri Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian yang disediakan bagi permaisuri dan selir, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya Raja. Sebuah jalan mirip dermaga menjadi batas antara umbul pamuncar dengan sebuah kolam di selatannya, yaitu umbul pangurass. Disekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Selain kolam juga terdapat bangunan di sisi utara dan di tengah sebelah selatan. Dihadapan Umbul Pamuncar ini terdapat sebuah bangunan bertingkat tiga. Dibawah bagunan itu ada sebuah patung yang memancarkan air dari mulutnya. Corak bangunan tersebut merupakan perpaduan dari budaya Islam dan Budha.
Di lantai satu bangunan ini terdapat kamar yang berfungsi sebagai ruang ganti Raja. Sri Sultan biasanya duduk di lantai tiga bangunan yang berada di hadapan Umbul Pamuncar untuk melihat para selir yang berenang di kolam. Sri Sultan punya cara sendiri untuk memilih selir yang akan menemaninya berenang di Umbul Panguras, kolam yang dikhususkan untuk Sri Sultan dan selir yang terpilih. Sri Sultan akan melempar bunga canthil ke dalam kolam dan selir yang mendapat bunga itulah yang terpilih menemani Sri Sultan. Selir-selir yang tidak terpilih kemudian kembali ke keraton.
Di dalam ruang ganti Sri Sultan terdapat westafel berbentuk kendi. Sisi luar kendi ini diukir dengan ukiran Jawa asli. Disini terlihat pengaruh budaya Jawa pada pernak-pernik bangunan Taman Sari. Kendi ini diisi dengan air yang dipergunakan Sri Sultan untuk membasuh muka. Dan disana juga ada sebuah periuk tempat istri-istri Sultan bercermin masih utuh berdiri. Ornament yang menghiasi periuk member kesan glamor terhadap benda yang terletak disamping lemari pakaian Sultan tersebut. Bisa kita bayangkan, 200 tahun lalu seorang wanita cantik menunggu air diperiuk ini hingga tenang lalu dia menundukkan kepalanya, memperbaiki riasan dan sanggulnya, memperindah raganya sembari bercermin. Selain itu dimenara bertingkat tiga ini ada tangga dari kayu jati yang masih utuh terawatt sehingga member kesan antic bagi siapa saja yang melihatnya. Naik ke tingkat paling atas, pantulan mentari dari kolam dibawahnya dan seluruh area taman sari terlihat dengan jelas, Taman Sari yang masih lengkap dengan danau buatannya dan bunga-bunga yang semerbak mewangi. Dan Jendela di tiap ruangan di Taman sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi. Ukiran tersebut, menurut penuturan pemandu wisata, adalah simbol pembuatan Taman Sari. Dan sebelah utara umbul kawitan merupakan tempat istirahat dan berganti pakaian bagi para puteri dan istri (selir).
Selanjutnya dari umbul pasiraman kami menuju sebuah halaman yang sangat luas. Sebelum ke halaman tersebut kami meliwati pintu masuk yang seperti gapura namun sebenarnya itu hanyalah gerbang masuk biasa. Dan diatas gerbang itu ada sebuah ukiran yang namanya “Kala Makara”. Ukiran tersebut dipercaya sebagai pengusir roh jahat. Gaya ukiran tersebut merupakan perpaduan/ kolaborasi antara kebudayaan yang ada di Yogyakarta dengan kebudayaan Eropa, Portugis. Dan diujung paling Barat dari halaman tersebut ada lagi sebuah gapura yang hampir sama dengan gapura panggung. Gapura itu disebut dengan “Gapura Hageng atau Gapura Agung”.
 Gapura Agung merupakan tempat kedatangan kereta kencana yang biasa dinaiki Sultan dan keluarganya. Kala itu Taman Sari menghadap kearah Barat dan memanjang kearah Timur. Gapura yang mempunyai beberapa ruang dan dua jenjang ini  dominan dengan ornamen bunga dan sayap burung yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun 1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi). Pesanggrahan tepat di selatan Taman Sari menjadi tujuan berikutnya. Sebelum berperang, Sultan akan bersemedi di tempat ini. Suasana senyap dan hening langsung terasa ketika kami masuk. Di sini, Sultan pastilah memikirkan berbagai cara negosiasi dan strategi perang supaya kedaulatan Keraton Yogyakarta tetap terjaga. Di sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari terdapat halaman bersegi delapan. Dahulu di tengah halaman ini berdiri sebuah menara berlantai dua yang bernama "Gedhong Lopak-lopak", versi lain menyebut gopok-gopok. Sekarang gedung ini sudah tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga raksasa serta pintu-pintu yang menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya. Areal ini juga menjadi tempat penyimpanan senjata-senjata, baju perang, dan tempat penyucian keris-keris jaman dahulu. Pelatarannya biasa digunakan para prajurit berlatih pedang. Namun sekarang gapura agung ini tidak lagi dijadikan pintu utama lagi karena di sebelah baratnya sudah dipenuhi oleh pemukiman penduduk.
Lepas dari gapura hageng, kami melanjutkan perjalanan kami menuju masjid bawah tanah atau sumur gumuling. Untuk menuju tempat tersebut, kami melewait gang kecil yang dipadati oleh pemukiman penduduk. Dalam deretan rumah tersebut ada beberapa rumah yang membuka untuk kursus membatik khas Yogyakarta. Masyarakat sekitar taman sari juga termasuk abdi dalem kraton karena masyarakat disitu banyak yang bekerja di taman sari. Dan sebenarnya tanah yang mereka tempati untuk membangun rumah adalah tanah milik sultan. Kalau sewaktu-waktu sultan mengharapkan mereka pindah maka dengan ringan hati mereka juga akan pindah dari area taman sari tersebut. Kami berjalan dari gapura hageng ke sumur gumuling membutuhkan waktu kurang lebih lima menit.
Bangunan Sumur Gemuling ini sedikit banyak dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Jawa Islam. Hal ini terlihat dari konsep bangunan yang menyerupai kubah masjid dan pintu yang melengkung. Bangunan berlantai 2 ini hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air saja.  Masjid bawah tanah atau Sumur Gumuling ini dahulu sebagai pusat peribadatan Raja Keraton beserta keluarganya. Bentuk bangunan masjid ini tidak seperti masjid umumnya, Masjid ini berbentuk bulat. Di masing-masing lantai terdapat dua mihrab atau tempat berdiri imam untuk memimpin salat jamaah. Lantai pertama digunakan untuk jamaah perempuan dan lantai ke dua untuk jamaah laki-laki. Dikatakan pada zaman dahulu, ketika imam mempimpin shalat, suara imam dapat terdengar dengan baik ke segala penjuru. Sekarang pun, hal itu masih dapat dirasakan. Suara percakapan dari orang-orang yang ada jauh dari kita terasa seperti mereka sedang berada di samping kita.
Selain itu, Untuk menuju ke pusat masjid, lagi-lagi harus melewati lorong-lorong yang gelap. Pada bagian dalam bangunan masjid, terdapat sumur dikelilingi lima tangga yang melambangkan jumlah rukun Islam ada juga versi yang menyebutkan lima tangga tersebut melambangkan sholat lima waktu. Persis di bawah tangga yang saling bertemu di tengah terdapat kolam air dari sumur gumuling. Sumur tersebut biasanya difungsikan oleh Sultan untuk tempat wudhu. Di dalam Sumur Gemuling ini terdapat sebuah lorong yang digunakan Sri Sultan untuk bermunajad atau meditasi. Lorong ini sempat digunakan sebagai tempat perlindungan dari serangan musuh pada awal tahun 80an atau pada zaman Yogyakarta diserang musuh. Bagian atas masjid membentuk bulatan tanpa atap. Di bagian dinding juga terdapat banyak ventilasi sehingga cahaya matahari leluasa menerangi bagian dalam masjid. Dan Uniknya lagi bangunan masjid ini temboknya direkatkan tidak memakai semen seperti sekarang ini, melainkan direkatkan dengan putih telur. Dan dengan berkunjung ke masjid tersebut menyiratkan jejak perkembangan islam di Keraton Yogyakarta dan kemegahan arsitektur masa lalu. Menurut penuturan pemandu wisata banyak Wisatawan yang mendokumentasikan tempat ini dengan foto narsis ataupun prewedding.
        Persinggahan terakhir kami adalah “Pulo Cemethi”. Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai ''Pulo Panembung”. Di tempat inilah konon Sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya sebagai "Sumur Gumantung", sebab di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini konon dengan melalui terowongan bawah air. Saat ini bangunan ini sedang dalam tahap renovasi besar - besaran yang bertujuan untuk merestorasi bangunan - bangunan yang masih ada.
Sebelum memasuki Pulau Panembung, kami duduk-duduk sambil mengambil potret bangunan di sekitar kami.  Sang pemandu wisata mulai bercerita kembali bahwa di sebelah kanannya ada sebuah tembok besar yang sangat tinggi. Disitulah ada yang namanya danau buatan atau yang disebut dengan “Segaran” (harfiah=laut buatan) serta bangunan yang ada ditengahnya, dan bangunan serta taman dan kebun yang berada di sekitar danau tersebut. Disamping untuk memelihara berbagai jenis ikan, danau tersebut difungsikan sebagai tempat bersampan Sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini tidak lagi berisi air melainkan telah menjadi pemukiman padat yang dikenal dengan kampong Taman. Bangunan-bangunan yang tersisa dalam kondisi yang memprihatinkan.
Saat dipenuhi air di tengah-tengah Segaran terdapat sebuah pulau buatan, yaitu ''Pulo Kenongo’', yang ditanami pohon Kenanga (''Kananga odorantum''). Di atas pulau buatan tersebut didirikan sebuah gedung berlantai dua  ''Gedhong Kenongo’'. Gedung terbesar di bagian pertama ini cukup tinggi. Dari anjungan tertingginya orang dapat mengamati kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya sampai ke luar benteng baluwarti. Konon Gedhong Kenongo terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsi berbeda. Dari jauh gedung ini seperti mengambang di atas air. Oleh karenanya tidak mengherankan jika kemudian Taman Sari dijuluki dengan nama "Istana Air" (Water Castle). Saat ini gedung ini tinggal puing-puingnya saja. Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat deratan bangunan kecil yang disebut dengan ''Tajug". Bangunan ini merupakan menara ventilasi udara bagi terowongan bawah air. Terowongan ini merupakan jalan masuk menuju Pulo Kenongo selain menggunakan sampan/perahu mengarungi danau buatan. Dahulu di bagian barat pulau buatan tersebut juga terdapat terowongan, namun kondisinya sekarang kurang terawat dibandingkan dengan terowongan selatan. Lalu kami masuk sebuah lorong yang menuju pulau panembung, namun dua teman kami memisahkan diri, mereka terlihat capek sehingga menunggu kami di luar. Sesungguhnya lorong ini sekaligus  jalan keluar kami dari taman sari.
        Sebenarnya masih banyak lagi lokasi taman sari, namun peninggalan itu hanya tersisa puing-puingnya saja karena pada waktu itu Yogyakarta terkena bencana dan juga karena terjadinya peperangan dengan Inggris, sehingga sebagian peninggalan keraton tinggal bekasnya saja. Ada juga yang telah diubah menjadi area pemukiman penduduk. Aslinya Taman Sari itu dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Pada zamannya, tempat ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan yang disebut ''Segaran, Pulau Kenongo, Pulau Cemethi dan Sumur Gumuling yang telah diuraikan diatas. Bagian kedua yang terletak di sebelah selatan danau buatan segaran merupakan bagian yang relatif paling utuh dibandingkan dengan bagian lainnya. Bagian yang tetap terpelihara adalah bangunan sedangkan taman dan kebun di bagian ini tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini merupakan bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan. Bagian ini meliputi Gapura Agung, Gedong Lopak-lopak, Umbul Pasiraman, Gedhong Sekawan, Gedhong Gapura Panggung dan Gedhong Temanten.
        Bagian yang ketiga tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Oleh karenanya deskripsi di bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi yang ada. Dahulu bagian ini meliputi Kompleks "Pasarean Dalem Ledok Sari" dan Kompleks kolam "Garjitawati" serta beberapa bangunan lain dan taman/kebun. Pasarean Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini yang tetap terjaga. Pasarean Dalem Ledok Sari konon merupakan tempat peraduan Sultan bersama Pemaisurinya. Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya berbentuk seperti U. di tengah bangunan terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Sebuah dapur, ruang penjahit, ruang penyimpanan barang, dan dua kolam untuk pelayan begitu pula kebun rempah-rempah, buah-buahan, dan sayur-sayuran diperkirakan berada bagian ini. Di sebelah baratnya dulu terdapat kompleks kolam Garjitawati. Jika hal itu benar maka kompleks ini merupakan sisa pesanggrahan Garjitawati  yang merupakan bekas keraton lama. Yang digunakan sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri.
        Bagian ke empat atau bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa lagi kecuali bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini hampir seluruhnya merupakan sebuah rekonstruksi dari sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri dari sebuah danau buatan beserta bangunan di tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang menghubungkan danau buatan ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta sebuah kebun. Danau buatan terletak di sebelah tenggara kompleks Magangan sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya terdapat pulau buatan yang konon disebut "Pulo Kinupeng". Di atas pulau tersebut berdiri sebuah bangunan yang konon disebut dengan "Gedhong Gading". Bangunan yang menjulang tinggi ini disebut sebagai menara kota (''Cittadel Tower'').
Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke arah barat serta berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di kanal ini terdapat dua penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan gantung. Salah satu jembatan tersebut berada di jalan yang menghubungkan kompleks Magangan dengan Kamandhungan Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini masih dapat disaksikan, walaupun jembatannya sendiri telah lenyap. Di sebelah barat jembatan gantung terdapat sebuah dermaga. Dermaga ini konon digunakan Sultan sebagai titik awal perjalanannya masuk ke Taman Sari. Konon Sultan masuk ke Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan Kanal terdapat kebun. Kebun ini berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul. Kini semua tempat itu telah menjadi pemukiman penduduk. Kebunnya telah berubah menjadi kampung Ngadisuryan sedangkan danau buatan berubah menjadi kampung Segaran.
Kami mendapatkan informasi seperti ini dari para pemandu wisata yang ada di Taman Sari. Setelah dari pulau panembung tadi, kami bersama dengan pemandu wisata berjalan menuju masjid yang dekat dengan taman sari. Dalam perjalanan menuju masjid, kami mulai bingung akan memberi apa pada pemandu sebagai ungkapan terima kasih. Kami berdebat satu sama lain akhirnya sang pemandu mengambil keputusan, katanya tidak perlu adanya wujud terima kasih karena dia sendiri juga masih training jadi masih sama-sama belajar. Kami patungan dan hasil patungan tadi kami serahkan pada pemandu sebagai ungkapan terima kasih.
 Kami selesai dari Taman Sari kira-kira pukul 13.50 WIB. Dan kami akan meneruskan perjalanan kami ke Keraton Yogyakarta. Dari Taman Sari ke Keraton membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit jalan kaki. Kami sampai dikeraton pukul 14.05. Namun sayangnya, sesampai kami di Keraton, ternyata Keratonnya sudah tutup. Ternyata keraton tutup pukul 14.00 WIB. 
Karena keratonnya sudah tutup akhirnya kami langsung pergi menuju rumah makan Dapur Sambel yang letaknya tidak jauh dari Keraton. Di situ, kami makan, mandi dan sholat. Selesai dari rumah makan kami sekarang sudah boleh istirahat sesuka hati kami. Terserah mau kemana saja. Kami pun memutuskan untuk pergi berbelanja di pasar yang menjadi tujuan para wisatawan, yaitu pasar Malioboro. Sayangnya, waktu itu cuacanya sangat tidak mendukung. Hujan pun mengguyur daerah Yogyakarta. Dengan hati kecewa kami akhirnya mencari sebuah Mushola untuk tempat kami berteduh. Kami menunggu hujan hingga reda. Waktupun semakin sore, tapi hujan pun tak kunjung reda. Kami memutuskan untuk pergi berbelanjanya setelah magrib. Walaupun waktu itu, setelah magrib pun hujannya masih gerimis kecil-kecil. Namun, mau gimana lagi kami pun akhinya menerjang hujan tersebut untuk sampai di tempat yang kami inginkan. Kami di Malioboro hanya di beri waktu sampai jam delapan malam. Di Malioboro kami membeli aneka jajanan khas Yogyakarta, yang tidak ketinggalan yaitu Geplak dan Bakpia Pathok. Kami juga membeli kaos yang bertuliskan Jogja, sebagai cindera mata bahwa kami pernah singgah di kota Yogyakarta. Sebelum kami meninggalkan Malioboro, di jalanan kami melihat orang yang berpenampilan seperti hantu yang terkenal di Indonesia. Karena merasa penasaran kami mengambil beberapa gambar bersama mereka. Saat mengambilgambar kami membayar seiklasnya. Menurut salah satu dari mereka, uang hasil dari berfoto ini akan mereka gunakan untuk membangun tempat sampah disekitar jalan Malioboro.  
Pukul 20.00 WIB kami bergegas menuju ke bus. Karena kami harus kembali melanjutkan perjalanan kami menuju Ponorogo. Ketika masuk bus suasananya lebih ramai dari persiapan pemberangkatan. Kami sibuk merapikan oleh-oleh yang dibeli tadi. Sebenarnya Kami pun merasa tidak ingin cepat-cepat meninggalkan keindahan Yogyakarta. Dalam hati kami bertekad untuk kembali mengunjungi Yogyakarta jika ada waktu luang. Untuk mengenang semua itu kami telah mengabadikannya dalam sebuah foto. Dan dalam ingatan kami pun Jogja adalah tempat yang penuh dengan keindahan.  Selamat tinggal Yogyakarta. Wait us come back.
Pukul 01.00 WIB kami tiba di kampus STAIN PONOROGO. Tanpa basa basi kami langsung melesat pulang ke rumah masing-masing.







THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar